Refleksi 28 Hari Menjelang HUT

*Si Kabayan Bertapa di Ciptagelar*
_Refleksi 28 Hari Menjelang HUT ke-80 Kemerdekaan RI_

_GWS, 20 Juli 2025_

Coba, bayangkan sebentar: Anda adalah Kabayan yang baru saja pulang dari Boston Logan Airport dengan kepala penuh teori Hausmann, hati penuh kegelisahan, dan dompet kosong karena sawah sudah laku. Iteung yang menjemput di Terminal 3 Soekarno-Hatta langsung menyadari ada yang berbeda. _"Kumaha, Kang? Teu carita-carita?"_ (Kenapa, Kang? Tidak bercerita-cerita?)

Kabayan hanya diam sambil menatap lampu-lampu Jakarta dari jendela taksi. Dalam benaknya bergulir data-data yang menyakitkan: Indonesia peringkat 84 Economic Complexity Index dengan skor -0,41, Vietnam yang dulu lebih miskin sekarang peringkat 60 dan terus naik, Korea yang 60 tahun lalu setara Indonesia sekarang peringkat 5 dunia. "Iteung, kita ternyata bukan cuma tertinggal. Kita terperosok."

Iteung menggaruk kepala. Sejak pulang dari Harvard, Kabayan jadi pendiam seperti orang yang habis lihat hantu. Makan sedikit, tidur gelisah, sering melamun sambil menggambar-gambar aneh di kertas—grafik ruang produk, diagram kompleksitas ekonomi, peta navigasi industri. _"Si Kang Kabayan mah geus jadi naon, siga nu keur mikiran hal nu beurat pisan," keluh Iteung pada tetangga._ (Si Kabayan sudah jadi apa, seperti yang sedang memikirkan hal yang sangat berat.)

*Keputusan Bertapa yang Mengejutkan*

Setelah dua minggu menjadi patung di rumah, Kabayan tiba-tiba bangkit dan berkata pada Iteung: _"Cing, abdi badé ka Ciptagelar. Hoyong nyangga sababaraha waktos."_ (Tolong, saya mau ke Ciptagelar. Ingin menyepi beberapa waktu.)

Ciptagelar—kampung adat di Sukabumi yang masih memegang teguh tradisi leluhur, jauh dari hiruk pikuk modernitas yang semu. Kabayan merasa butuh ketenangan untuk mencerna semua yang dipelajarinya tentang kegagalan sistemik Indonesia. "Di sana ada energi spiritual yang bisa membantu saya memahami akar masalah bangsa ini," katanya pada Iteung yang cemas.

Perjalanan ke Ciptagelar ditempuh dengan angkot, ojek, dan akhirnya jalan kaki menyusuri jalan setapak yang berkelok. Kabayan membawa tas sederhana berisi buku catatan Harvard, beberapa helai pakaian, dan tekad untuk menemukan jawaban mengapa Indonesia terjebak dalam jebakan kompleksitas rendah.

Sesampainya di Ciptagelar, Kabayan disambut Abah, sesepuh kampung yang bijaksana. _"Wilujeng sumping, Kang Kabayan. Parantos lami teu ningali jalmi nu datang ngamarian ceurik bangsa,"_ kata Abah sambil tersenyum tipis. (Selamat datang, Bang Kabayan. Sudah lama tidak melihat orang yang datang meratapi tangis bangsa.)

*Meditasi dan Pertemuan dengan Para Leluhur*

Kabayan memilih pondok kecil di pinggir hutan untuk meditasinya. Setiap hari ia duduk bersila di bawah pohon saninten tua sambil merenungkan data-data yang diperoleh dari Prof. Hausmann. "Mengapa Korea berhasil, Vietnam berhasil, Tiongkok berhasil, sementara Indonesia dengan sumber daya berlimpah malah mundur?" pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya.

Pada malam ketujuh, dalam keadaan setengah sadar antara tidur dan jaga, Kabayan merasakan kehadiran yang tidak biasa. Empat sosok mulai tampak samar-samar di depannya: seorang pria berkacamata dengan kumis tebal, seorang pria tinggi dengan peci hitam, seorang pria berjas rapi dengan wajah intelektual, dan seorang pria dengan mata berbinar penuh semangat pendidikan.

"Assalamualaikum, Nak Kabayan," sapa sosok berkumis tebal itu dengan suara yang familiar. Kabayan tersentak—itu suara Bung Hatta yang sering didengarnya di rekaman sejarah.

"Waalaikumsalam, Bung Hatta?" Kabayan masih tidak percaya.

"Betul, Nak. Dan ini Soekarno, Djuanda, serta Ki Hadjar," kata Bung Hatta sambil menunjuk ketiga sosok lainnya. "Kami datang karena merasakan kegelisahan mendalam tentang bangsa yang kami rintis."

*Dialog dengan Bung Hatta: Ekonomi yang Tersesat*

Bung Hatta duduk di samping Kabayan dengan wajah prihatin. "Ceritakan, Nak, apa yang kamu lihat tentang ekonomi bangsa ini?"

Kabayan mulai bercerita tentang perjalanannya ke Vietnam, Korea, Tiongkok, dan kuliah di Harvard. Tentang teori Hausmann, tentang ruang produk, tentang bagaimana Indonesia terjebak di pinggiran ekonomi global dengan ekspor komoditas mentah.

"Bung, Indonesia sekarang seperti kuli di negeri sendiri," kata Kabayan dengan suara bergetar. "Kita ekspor sawit mentah, mereka bikin produk olahan bernilai tinggi. Kita ekspor nikel mentah, mereka bikin baterai mobil listrik. Kita jadi pemasok bahan baku, mereka jadi penjual produk jadi."

Bung Hatta mengangguk sedih. "Inilah yang kami khawatirkan sejak dulu, Nak. Ekonomi kerakyatan yang kami cita-citakan berubah jadi ekonomi yang mengeruk habis sumber daya untuk kepentingan segelintir orang. Koperasi yang kami impikan jadi alat birokrasi, BUMN yang kami dirikan jadi sarang korupsi."

"Tetapi Bung," tanya Kabayan, "mengapa Korea dan Vietnam yang kondisi awalnya mirip dengan kita bisa berhasil?"

Bung Hatta merenung sejenak. "Karena mereka membangun sistem yang menempatkan kemampuan di atas koneksi, prestasi di atas privilese. Sementara kita membangun sistem yang membesarkan oligarki."

*Dialog dengan Soekarno: Nasionalisme yang Dikhianati*

Soekarno yang selama ini diam tiba-tiba bersuara dengan nada penuh emosi. "Kabayan, apakah ini Indonesia merdeka yang aku proklamasikan? Indonesia yang eksportnya dikuasai asing, teknologinya bergantung asing, bahkan keputusan ekonominya diintervensi asing?"

"Pak Karno, saya juga bingung," jawab Kabayan. "Di Harvard, Prof. Hausmann bilang Indonesia punya semua modal untuk maju: sumber daya alam, sumber daya manusia, letak geografis strategis. Tapi kenapa malah mundur?"

Soekarno mengepalkan tangan. "Karena nasionalisme kita cuma slogan kosong! Vietnam punya nasionalisme ekonomi—mereka tolak jadi perakit selamanya, memaksa transfer teknologi, membangun industri dalam negeri. Korea punya nasionalisme teknologi—mereka paksa chaebols untuk riset dan pengembangan, tidak cuma jadi distributor produk asing."

"Sementara kita?" lanjut Soekarno dengan getir, "Nasionalisme kita cuma upacara bendera dan lagu kebangsaan. Di ekonomi, kita tunduk total pada asing. Konglomerat kita cuma jadi makelar asing di tanah sendiri."

*Dialog dengan Djuanda: Teknokrasi yang Tergadai*

Djuanda yang dikenal sebagai teknokrat handal bangsa ikut bersuara. "Kabayan, masalah fundamental kita adalah tidak adanya sistem meritokrasi yang sehat. Di Korea, teknokrat seperti Park Chung-hee bisa mengambil keputusan ekonomi jangka panjang tanpa diintervensi kepentingan politik jangka pendek. Di Tiongkok, sistem mandarinnya memungkinkan para ahli mengelola ekonomi berdasarkan data dan logika."

"Bagaimana dengan Indonesia, Pak Djuanda?"

"Ah," Djuanda menggeleng, "teknokrat kita jadi boneka politisi. Menteri ekonomi dipilih bukan karena kemampuan, tapi karena afiliasi partai. Direktur BUMN dipilih bukan karena prestasi, tapi karena kedekatan dengan penguasa. Kebijakan ekonomi dibuat bukan berdasarkan riset, tapi berdasarkan kepentingan donor kampanye."

Djuanda menunjuk ke arah yang tidak tampak. "Lihat, Vietnam punya teknokrat yang berani menolak investasi yang tidak menguntungkan jangka panjang. Korea punya teknokrat yang berani menutup industri yang tidak efisien. Kita? Teknokrat kita takut ambil keputusan yang tidak populer secara politik."

*Dialog dengan Ki Hadjar: Pendidikan yang Melenceng*

Ki Hadjar Dewantara, bapak pendidikan nasional, tampak paling sedih di antara semuanya. "Kabayan, akar dari semua masalah ini adalah pendidikan yang salah arah. Pendidikan kita menciptakan pencari kerja, bukan pencipta kerja. Menciptakan pegawai, bukan pengusaha. Menciptakan konsumen, bukan inovator."

"Maksud Bapak?"

"Sistem pendidikan kita masih kolonial: menghafal, bukan berpikir. Mengikuti, bukan memimpin. Mencari yang mudah, bukan menantang yang sulit," jelas Ki Hadjar dengan nada prihatin. "Korea membangun sistem pendidikan yang menghasilkan insinyur dan peneliti. Vietnam membangun sistem pendidikan yang menghasilkan pekerja terampil dan teknisi. Kita membangun sistem pendidikan yang menghasilkan... apa?"

Kabayan merenung. "Pegawai kantoran dan buruh kasar?"

"Tepat!" seru Ki Hadjar. "Pendidikan kita tidak membangun kemampuan kolektif, pemecahan masalah, inovasi. Makanya kita tidak bisa naik dari ruang produk kompleksitas rendah. Karena manusianya tidak punya kemampuan untuk produk kompleksitas tinggi."

*Brainstorming Akar Masalah: Dilema Telur dan Ayam*

Keempat founding fathers itu kemudian duduk melingkar dengan Kabayan, memulai diskusi mendalam tentang akar masalah Indonesia. Bung Hatta menggambar di tanah dengan ranting kayu, membuat diagram sederhana.

"Masalah kita bermula dari pendidikan," kata Ki Hadjar sambil menunjuk titik pertama.

"Pendidikan yang salah menciptakan SDM yang tidak kompeten," tambah Djuanda.

"SDM tidak kompeten menciptakan sistem meritokrasi yang rusak," lanjut Bung Hatta.

"Sistem meritokrasi rusak membuka ruang untuk korupsi dan nepotisme," sambung Soekarno.

"Dan korupsi serta nepotisme menciptakan oligarki yang mengendalikan ekonomi politik," tutup Bung Hatta.

Namun tiba-tiba Soekarno mengangkat tangan, memotong alur diskusi. "Tunggu sebentar. Bukankah kita terjebak dalam dilema klasik telur dan ayam di sini?"

Ketiga founding fathers lainnya menoleh dengan tatapan bertanya.

"Maksud saya," lanjut Soekarno sambil menunjuk diagram Bung Hatta, "kita bilang pendidikan buruk melahirkan pemimpin yang tidak berkarakter. Tapi siapa yang mendesain sistem pendidikan? Bukankah pemimpin yang tidak berkarakter itu?"

Ki Hadjar mengangguk perlahan, mulai memahami maksud Soekarno. "Ah, paradoks yang rumit. Apakah pendidikan buruk yang melahirkan pemimpin buruk, atau pemimpin buruk yang menciptakan pendidikan buruk?"

Djuanda menggambar lingkaran di tanah. "Ini seperti ular yang memakan ekornya sendiri. Pemimpin yang lahir dari pendidikan buruk akan mempertahankan sistem pendidikan buruk, karena mereka takut sistem pendidikan yang baik akan melahirkan generasi yang lebih pintar dari mereka."

Bung Hatta merenung dalam-dalam. "Di Korea, pemimpin seperti Park Chung-hee—meski otoriter—memiliki visi jangka panjang. Ia sadar bahwa untuk membangun negara maju, dia harus melahirkan generasi yang lebih pintar dari dia. Jadi dia investasi masif di pendidikan, bahkan tahu bahwa generasi itu kelak akan mengkritik atau bahkan menggulingkan dia."

"Nah, itu kuncinya!" seru Ki Hadjar. "Pemimpin yang berkarakter adalah yang rela melahirkan generasi yang lebih pintar, bahkan jika itu berarti kekuasaannya terancam. Sementara pemimpin yang tidak berkarakter akan mempertahankan sistem bodoh agar mereka tetap terlihat pintar."

Soekarno melanjutkan dengan nada reflektif: "Di Vietnam, Ho Chi Minh dan generasi setelahnya sadar bahwa untuk mengalahkan teknologi Amerika, mereka harus menciptakan generasi Vietnam yang menguasai teknologi lebih canggih. Meski itu berarti generasi baru akan mempertanyakan ideologi lama."

Kabayan yang mendengarkan diskusi semakin tercerahkan. "Jadi lingkaran setan itu bisa diputus kalau ada pemimpin yang berkarakter—yang mau mengorbankan kepentingan jangka pendeknya demi kemajuan bangsa jangka panjang?"

"Tepat sekali!" kata keempat founding fathers hampir bersamaan.

Djuanda menambahkan: "Tapi masalahnya, dalam sistem yang sudah rusak, bagaimana kita bisa melahirkan pemimpin berkarakter? Sistem korup cenderung mengangkat orang korup. Sistem bodoh cenderung memilih pemimpin bodoh."

"Nah, di sinilah pentingnya katalis," kata Ki Hadjar sambil menggambar titik di tengah lingkaran. "Butuh seseorang atau sekelompok orang yang berani memutus mata rantai—meski harus bayar mahal."

Bung Hatta menatap Kabayan lekat-lekat. "Seperti Kabayan yang rela jual sawah untuk kuliah di Harvard. Atau seperti para mahasiswa yang rela turun ke jalan meski tahu risikonya. Mereka jadi katalis perubahan."

"Tapi," Soekarno menambahkan dengan nada serius, "katalis saja tidak cukup. Butuh sistem yang mendukung agar katalis itu tidak mati sebelum bereaksi. Di Korea, Park Chung-hee bisa jadi katalis karena ada dukungan militer dan teknokrat. Di Vietnam, Ho Chi Minh berhasil karena ada dukungan rakyat dan kaum intelektual."

Diskusi semakin mendalam ketika mereka membahas mengapa Indonesia sulit melahirkan katalis yang efektif. Oligarki yang menguat, media yang dikuasai kepentingan, dan sistem hukum yang lemah membuat setiap upaya perubahan mudah dipatahkan.

"Inilah mengapa," kata Ki Hadjar dengan nada conclusion, "problem pendidikan dan kepemimpinan harus diselesaikan secara bersamaan. Tidak bisa sequential. Harus paralel."

*Mindmap Komprehensif: Empat Pilar Kegagalan*

Pada malam ke-14, setelah diskusi mendalam tentang dilema kausal, Kabayan berhasil menggambar mindmap komprehensif yang menjelaskan mengapa Indonesia gagal melakukan lompatan kompleksitas ekonomi. Di tengah kertas ia menulis: "Akar Kegagalan Indonesia" dengan empat cabang utama:

*Pilar 1: Pendidikan dan Peningkatan Kemampuan Kolektif*

"Ini fondasi segalanya," kata Ki Hadjar sambil menunjuk cabang pertama. "Sistem pendidikan kita tidak menghasilkan manusia yang secara kolektif mampu dalam menciptakan produk kompleks."

*Sub-masalah:*

- Kurikulum yang tidak selaras dengan kebutuhan industri
- Metode pembelajaran yang menghasilkan individu kompetitif, bukan kolektif
- Tidak adanya ekosistem pembelajaran seumur hidup
- Pemisahan antara pendidikan akademik dan vokasi yang kaku
- Minimnya investasi dalam riset dan pengembangan di perguruan tinggi

"Vietnam berhasil karena mereka membangun sistem pendidikan yang langsung terhubung dengan industri," jelas Ki Hadjar. "Korea berhasil karena budaya pembelajaran kolektif yang kuat. Tiongkok berhasil karena investasi masif dalam riset dan pengembangan."

*Pilar 2: Mekanisme Meritokrasi yang Tidak Terbangun Baik*

"Ini yang paling kami sesalkan," kata Djuanda dengan nada sedih. "Sistem yang kami bangun untuk menempatkan orang terbaik di posisi terbaik malah berubah jadi sistem asal bapak senang."

*Sub-masalah:*

- Rekrutmen pejabat berdasarkan kedekatan politik, bukan kompetensi
- Sistem karier yang tidak memberikan insentif bagi prestasi
- Tidak adanya performance-based evaluation yang objektif
- Budaya senioritas yang menghambat inovasi
- Lemahnya sistem checks and balances dalam birokrasi

"Korea membangun meritokrasi melalui sistem ujian negara yang ketat," lanjut Djuanda. "Tiongkok mempertahankan tradisi mandarin yang mengutamakan kemampuan. Vietnam mengirim teknokrat terbaiknya belajar ke luar negeri."

*Pilar 3: Integritas (Korupsi, Kolusi, Nepotisme)*

"Inilah yang menggerogoti sendi-sendi bangsa," kata Bung Hatta dengan marah. "KKN bukan hanya mencuri uang rakyat, tetapi juga mencuri masa depan bangsa."

*Sub-masalah:*

- Sistem pengadaan yang tidak transparan
- Lemahnya penegakan hukum yang konsisten
- Budaya permisif terhadap korupsi "kecil-kecilan"
- Tidak adanya sistem reward and punishment yang tegas
- Lemahnya media dan civil society dalam mengawasi

"Korea memberantas korupsi dengan sistem yang brutal tapi efektif," kata Bung Hatta. 
"Vietnam menghukum koruptor dengan hukuman mati. Tiongkok menggabungkan kampanye anti-korupsi dengan modernisasi birokrasi."

*Pilar 4: Sistem Oligarki (Uang Mengendalikan Kekuasaan dan Hukum)*

"Ini kulminasi dari tiga masalah sebelumnya," kata Soekarno dengan getir. "Oligarki menciptakan lingkaran setan: uang membeli kekuasaan, kekuasaan melindungi uang, dan hukum jadi alat legitimasi kedua-duanya."

*Sub-masalah:*

- Konsentrasi kepemilikan ekonomi di segelintir keluarga
- Sistem politik yang bergantung pada pendanaan oligarki
- Media massa yang dikuasai kepentingan bisnis
- Sistem hukum yang berpihak pada yang berkuasa
- Lemahnya institusi demokrasi yang independen

"Korea memecah chaebol yang terlalu besar," jelas Soekarno. "Tiongkok membatasi kekuatan konglomerat swasta. Vietnam tidak membiarkan sektor swasta mengendalikan sektor strategis."

*Kesimpulan Revolusioner: Terapi Paralel atau Tidak Ada Sama Sekali*

Setelah mindmap selesai, keempat founding fathers duduk terdiam memandangi diagram kompleks yang menunjukkan keterkaitan empat pilar kegagalan Indonesia. Bung Hatta yang pertama memecah keheningan.

"Kabayan, kesimpulan terpenting dari diskusi kita adalah ini: keempat pilar masalah ini tidak bisa diselesaikan secara terpisah atau berurutan. Mereka seperti empat sudut sebuah meja—kalau satu patah, yang lain ikut roboh."

Ki Hadjar mengangguk mantap. "Betul. Selama ini kita selalu coba perbaiki satu-satu. Reformasi pendidikan tanpa memberantas korupsi. Pemberantasan korupsi tanpa membangun meritokrasi. Membangun meritokrasi tanpa melawan oligarki. Hasilnya? Semuanya kembali ke titik awal."

Djuanda menambahkan dengan analoginya yang khas: "Seperti mengobati kanker dengan obat flu. Mungkin gejala berkurang sementara, tapi penyakitnya tetap menggerogoti tubuh. Yang dibutuhkan adalah terapi sistemik yang menyerang semua sel kanker secara bersamaan."

Soekarno berdiri sambil mengepalkan tangan. "Inilah mengapa revolusi itu perlu, Kabayan. Bukan revolusi dengan senjata, tapi revolusi paradigma yang menyadari bahwa transformasi harus holistik dan simultan."

"Tapi bagaimana caranya?" tanya Kabayan. "Bagaimana memulai perubahan yang begitu besar secara bersamaan?"

Ki Hadjar tersenyum bijak. "Dengan kesadaran bahwa tidak ada perubahan separuh hati. Korea berhasil karena mereka melakukan transformasi total: pendidikan, birokrasi, ekonomi, politik—semua dirombak dalam waktu yang relatif bersamaan meski menyakitkan."

Bung Hatta melanjutkan: "Vietnam berhasil karena mereka sadar bahwa perlawanan terhadap Amerika tidak cukup hanya dengan semangat, tapi butuh transformasi sistemik: dari pendidikan agraris ke teknologi, dari birokrasi feodal ke meritokrasi, dari ekonomi subsisten ke industri."

"Sementara kita," kata Djuanda dengan nada getir, "masih percaya bahwa bisa memperbaiki satu hal tanpa mengubah yang lain. Mau sistem pendidikan berkelas dunia tapi mempertahankan budaya nepotisme. Mau teknokrasi yang kompeten tapi mempertahankan politik oligarkis."

Soekarno menutup diskusi dengan pernyataan yang menggugah: "Yang paling berbahaya adalah ilusi bahwa kita bisa berubah tanpa mengorbankan apa-apa. Setiap bangsa yang berhasil melakukan lompatan harus membayar mahal: Korea mengorbankan demokrasi untuk pembangunan, Vietnam mengorbankan kesejahteraan jangka pendek untuk industrialisasi, Tiongkok mengorbankan kebebasan untuk modernisasi."

"Pertanyaannya," lanjut Soekarno sambil menatap Kabayan tajam, "apa yang rela dikorbankan Indonesia? Dan apakah rakyat Indonesia siap membayar harga transformasi yang sesungguhnya?"

*Interconnected Problems: Mata Rantai yang Tidak Terputus*

Yang membuat mindmap Kabayan semakin kompleks adalah garis-garis penghubung antara keempat pilar tersebut. Semuanya saling terkait dalam lingkaran setan yang sulit diputus, sekaligus menjadi alasan mengapa harus diperbaiki secara bersamaan:

- Pendidikan buruk → SDM tidak kompeten → Meritokrasi rusak → Pemimpin inkompeten melindungi pendidikan buruk
- Meritokrasi rusak → Pejabat tidak kapabel → KKN merajalela → Oligarki menguat → Oligarki mengontrol rekrutmen pejabat
- KKN merajalela → Sumber daya tersedot → Investasi pendidikan minim → Pendidikan semakin buruk
- Oligarki menguat → Mengendalikan politik → Media dikendalikan → Meritokrasi diabaikan → Korupsi dilindungi

"Inilah mengapa terapi parsial selalu gagal," kata Bung Hatta sambil menunjuk diagram lingkaran setan. "Setiap upaya memperbaiki satu pilar akan dilawan oleh tiga pilar lainnya. Seperti hydra dalam mitologi Yunani—potong satu kepala, tumbuh dua kepala baru."

*Refleksi Mendalam: Mencari Jalan Keluar*

Pada malam terakhir pertemuannya dengan para leluhur bangsa, Kabayan duduk terdiam menatapi mindmap yang telah selesai. Diagram itu seperti potret rontgen penyakit kronis yang menggerogoti tubuh bangsa.

"Bung, bagaimana cara memutus lingkaran setan ini?" tanya Kabayan pada keempat founding fathers.

Mereka saling berpandangan sejenak. Ki Hadjar yang menjawab lebih dulu: "Harus dimulai dari kesadaran kolektif bahwa sistem yang ada sudah tidak berkelanjutan. Indonesia harus sadar bahwa kekayaan sejati bukan dari mengeruk alam, tetapi dari membangun kemampuan manusia."

Bung Hatta menambahkan: "Perlu gerakan moral yang masif untuk mengembalikan integritas dalam kehidupan berbangsa. Korupsi bukan hanya masalah hukum, tetapi masalah karakter bangsa."

Djuanda meneruskan: "Sistem meritokrasi harus dipaksa untuk ditegakkan, meski akan ada perlawanan dari yang diuntungkan sistem lama. Seperti Korea yang nekat melawan konglomerat, Indonesia harus berani melawan oligarki."

Soekarno menutup dengan nada penuh semangat: "Yang paling penting adalah membangun kembali semangat nasionalisme ekonomi. Bangsa yang maju adalah bangsa yang tidak mau selamanya jadi kuli di negeri sendiri!"

*Epilog: Kebangkitan atau Mimpi?*

Ketika fajar menyingsing di Ciptagelar, Kabayan terbangun sendiri di bawah pohon saninten. Para leluhur bangsa sudah tidak tampak, tetapi mindmap di tanah masih terlihat jelas—atau mungkin Kabayan yang menggambarnya dalam tidur?

Ia menatap diagram kompleks yang menunjukkan empat akar masalah Indonesia: pendidikan yang salah arah, meritokrasi yang rusak, integritas yang terkikis, dan oligarki yang menguat. Semuanya terhubung dalam lingkaran setan yang menjelaskan mengapa Indonesia terjebak dalam ruang produk kompleksitas rendah. Yang lebih penting, diagram itu juga menunjukkan mengapa keempat masalah itu harus diselesaikan secara bersamaan—seperti mengobati penyakit sistemik yang memerlukan terapi holistik.

*Monolog Kebimbangan*

Kabayan duduk terdiam, merasakan beban berat di dadanya. Sebentar saja, godaan itu datang—godaan untuk melupakan semua ini. Ia bisa saja pulang ke Jakarta, memanfaatkan gelar Harvard untuk mendapat posisi nyaman di konsultan multinasional atau BUMN. Gaji besar, rumah mewah, anak sekolah internasional. Mengapa harus repot-repot memikirkan bangsa yang sepertinya tidak mau berubah?

"Mudah saja," bisiknya pada diri sendiri. "Jadi seperti yang lain. Ambil keuntungan dari sistem yang rusak, daripada cape-cape memperbaikinya."

Tapi kemudian wajah-wajah para founding fathers kembali muncul dalam ingatannya. Bung Hatta yang menjual motor untuk biaya proklamasi. Soekarno yang hidup sederhana meski bisa kaya raya. Ki Hadjar yang memilih mendidik bangsa daripada menjadi pejabat kolonial. Mereka semua punya pilihan mudah, tapi mereka memilih yang sulit.

Kabayan menggeleng keras. "Tidak. Jika aku mengambil jalan mudah, aku sama saja dengan bagian dari masalah."

Abah yang kebetulan lewat melihat Kabayan duduk termangu. _"Kumaha, Kang? Parantos nampi jawaban?"_ (Bagaimana, Bang? Sudah mendapat jawaban?)

Kabayan mengangguk sambil melipat kertas berisi mindmap. "Sudah, Bah. Sekarang saya tahu penyakitnya. Tinggal mencari obatnya."

"Meski obatnya pahit?"

"Najan obatna pait," jawab Kabayan mantap, kali ini dengan keyakinan yang sudah melewati ujian godaan. (Meski obatnya pahit.)

*Refleksi tentang Harga Transformasi*

Kabayan bersiap-siap pulang ke Jakarta dengan bekal pemahaman baru. Ia tahu bahwa perubahan tidak akan mudah—memutus lingkaran setan yang sudah mengakar puluhan tahun membutuhkan keberanian dan pengorbanan. Tetapi seperti kata para leluhur bangsa dalam mimpinya: _tidak ada bangsa yang maju tanpa melalui transformasi yang menyakitkan dan menyeluruh._

Namun, dalam perjalanan pulang, Kabayan juga merenungkan peringatan yang tersirat dari diskusi dengan para founding fathers. Setiap bangsa membayar harga sesuai sejarahnya, tapi tidak semua harga layak dibayar. Korea mengorbankan demokrasi untuk pembangunan, tapi kemudian berhasil mengembalikannya dengan lebih kuat. Vietnam mengorbankan kesejahteraan jangka pendek, tapi tetap mempertahankan kohesi sosial. Tiongkok mengorbankan kebebasan, tapi tetap menjaga martabat budayanya.

"Kita harus memilih harga yang membuat bangsa ini tetap manusiawi," gumam Kabayan. "Transformasi yang brutal memang perlu, tapi jangan sampai kita kehilangan jiwa bangsa yang gotong royong dan bermartabat."

*Call to Action Personal*

Pertanyaan sekarang: apakah rakyat Indonesia siap menghadapi transformasi yang menyakitkan namun holistik demi masa depan yang lebih baik? Ataukah mereka akan terus terjebak dalam fantasi pembangunan tanpa perubahan menyakitkan?

Mungkin kita bukan Kabayan yang bisa jual sawah untuk kuliah di Harvard. Mungkin kita bukan Bung Hatta yang bisa memimpin revolusi. Tapi kita bisa memilih untuk tidak ikut menyangga ilusi. Kita bisa mulai dari lingkaran terkecil—dengan berkata tidak pada korupsi kecil, pada privilege tanpa kompetensi, pada pendidikan yang malas berpikir. Kita bisa memilih untuk tidak menjadi bagian dari oligarki kecil-kecilan di kantor, di kampus, di RT-RW. Kita bisa memilih untuk tidak mewariskan budaya "asal bapak senang" kepada anak-anak kita.

Seperti kata orang Sunda yang diingat Kabayan: _"Lamun hoyong meunang, kudu wani rugi heula"_ (Kalau mau menang, harus berani rugi dulu). Mungkin sudah saatnya Indonesia berani rugi dalam jangka pendek—dan berani merombak total keempat pilar kegagalan secara bersamaan—demi kemenangan jangka panjang.

Tetapi apakah kita punya keberanian seperti Kabayan yang rela menjual sawah demi mencari jawaban? Apakah kita punya keberanian untuk membayar harga transformasi yang tetap mempertahankan kemanusiaan kita? Ataukah kita akan terus nyaman dengan ilusi bahwa bisa maju tanpa mengorbankan apa-apa—seperti orang yang berharap bisa sehat tanpa mau operasi tumor ganas yang menggerogoti tubuhnya?

Republik ini menunggu bukan pemimpin sempurna, tapi warga yang berhenti pura-pura lupa.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Formulir Kontak